Cerpen Keindahan
SENJA DI TEPI PANTAI....
Ari dan Adit duduk di sana, bertolak dengan datangnya ombak pasang yang bergulung-gulung menyentuh kaki-kaki mereka, menjebak pasir di sela jari-jarinya. Keduanya menatap bena dalam kebisuan, tercekik kecanggungan dan terjebak sejumput pertanyaan.
Mereka lihat perahu-perahu yang mengambang serupa siluet, terus menjauh dan menyisakan titik semu. Kekosongan mata itu juga tertuju pada nelayan yang mendorong pinisi lalu naik ke atas perahu kayu yang hilang keseimbangan sedetik. Bunyi motor tempel di punca mendesing, merobohkan keindahan suara pantai. Para nelayan bersarung yang urung melaut pilih kembali, agak sangsi dengan cuaca sore itu. Adapun nelayan lainnya yang memasang sirap dan dek, juga membuat pasa pada perahu-perahu setengah jadi. Ari dan Adit ingat masa lalu, saat tak sengaja tidur di atas geladak dengan satu nahkoda bertubuh sintal, tiba di tengah laut dalam kondisi terombang-ambing ditubruk ombak. Saat itu Adit tak kuat, dia muntah kuning setelah rasa mual menjalajahi perut sampai tenggorokan. Demi mengurangi kesengsaraan itu, Ari memberinya hati ikan kaci-kaci.
“Jadi, kau tidak membual akan berangkat ke sana? melewati laut ini?” wajah Ari menunjuk luasnya lautan yang tanpa ujung. Seperti garis semu di mana matahari mulai merangkak untuk sembunyi.
Adit mengangguk. “Esok, aku akan mengarungi langit dan melihat samudera dari atas sana.”
“Dulu kau pernah mabuk laut, kau tahu jarak teluk ke tengah hanya sepelemparan batu? lalu bagaimana kau akan tenang duduk di dalam burung besi selama 17 jam?”
Senyum Adit terkulum gugup. “Nanti, setelah aku mencobanya, akan kuberitahu jawabannya.”
Mereka kembali membisu, menatapi biasan larik cahaya matahari yang oranye, menjalar di permukaan air laut dengan riaknya yang tak henti-henti. Bau amis menguap di udara, membelai lubang hidung lalu membungkus beberapa aroma. Sekelompok rajungan mulai mengungsi, undur-undur mencari teritori teraman lalu tubuhnya melempas ke dalam pasir, kepiting merah merayap di batang-batang pohon kelapa yang sedang menari-nari. Di angkasa, Trinil sedang membentangkan sayap mereka, sama besarnya dengan bentuk pesawat nun jauh di sana. Segala pemandangan di sana memang anugerah, tapi entah mengapa Ari merasa sadah.
Apa pun yang dilihat mereka saat dewasa akan sangat berbeda dengan segala sudut pandang sewaktu kecil dulu. Saat senja, duduk di tepian pantai sambil membakar belacak di atas serabut kelapa adalah hal yang membuat masa kecil mereka bahagia. Lalu sambil menatapi keelokan sore hari, mereka bakal bercerita, menebak-nebak bagaimana Sir. Thomas Stamford Raffles bisa terpesona akan keeksotisan pulau jawa. Mereka juga kerap membacakan puisi Jalaludin Rumi. Kala matahari mulai menerungkup dan langit pekat membentang, Ari akan membaurkan pasir ke atas arang sisa pembakaran, sementara Adit memanggul ikan-ikan sebesar kelingking. Lalu mereka akan meninggalkan satu jejak di sana: sebuah kebersamaan.
Dua lengan Ari menopang tubuhnya yang baru bergeming setelah beberapa saat membatu. “Kenapa harus Belanda, kau tidak tahu kalau negara ini pernah dijajah olehnya? memalukan saja.”
Senyum sungging Adit menggelap di hari yang mulai pekat. “Kau pernah merasa malu, belajar pada seseorang yang pernah kau musuhi?”
Sedetik pandangan mereka beradu. “Harus kupertimbangkan dulu, siapa musuhku itu. Kalaupun hubungan kami tak harmonis, apabila dia lebih unggul dan punya wawasan jauh di atasku, maka mau tak mau aku perlu menghilangankan ego sedikit untuk belajar ilmunya.”
Bibir Adit mengulas senyum tak biasa. “Kau sudah tahu jawabannya kalau begitu.”
Mereka diam lagi. Gemuruh ombak seolah menghantam perasaan masing-masing, lantas menenggelamkan kenangan-kenangan masa lalu.
Adit menggenggam pasir pantai, lalu membaurkannya, menggenggam lagi, sampai akhirnya menepuk-nepuk tangan, kemudian ia tumpukan di kedua lutut.
“Kelak, saat aku sampai di sana, kau juga akan termotivasi supaya bisa mencoba melihat pantai ini di balik gumpalan awan.”
Sekali lagi Ari menunduk, tak kuasa memandangi apapun di hadapannya. Dia terlalu takut, bahkan untuk sekadar bermimpi.
“Mimpiku tak seperti mimpimu, Dit. Kau itu bermimpi sambil berusaha merealisasikannya. Sementara aku, bisa bermimpi saja sudah bersyukur.”
“Ada yang tak kau ketahui Ri, kalau Tuhan tak pernah membatasi mimpi-mimpi hamba-Nya.”
Mata bulat Ari menatap air yang sekali lagi menyentuh kaki, lalu kembali surut dalam sekejap. Sinar oranye matahari memantul di manik hitamnya.
“Tapi aku itu hidup dalam serba keterbatasan. Ekonomi yang terbatas. Kemampuan yang terbatas. Dan dukungan yang juga terbatas. Kau tahu sebatu apa Bapa’ dan secemas apa Ama’? kedua orangtuaku bahkan tidak akan pernah mendukungku.”
“Ada satu hal yang kau lupa, kau harus merendahkan diri meminta dukungan Tuhan. Setelah itu hambatanmu mudah-mudahan bisa kau lewati.”
Keduanya saling tenggelam dalam desau angin, menyapu nyiur yang melambai.
Sebentar lagi Adit akan bertolak meninggalkan daerah pesisir yang bau amis menuju kawasan kota penuh ingar bingar. Bukan di Indonesia, melainkan ia akan melintasi samudera ke negeri Belanda. Seorang anak pesisir yang punya mimpi besar dan berhasil mewujudkannya.
Ari ingat bagaimana perjuangan mereka setelah menangkap ikan, kerang dan beberapa rajungan, lalu menghitungnya di atas birai batu. Dia juga ingat saat memakan ransum bersama di bawah atap rumbia kala hujan mengguyur pantai.
Sungguh, Ari merasa bahagia melihat sahabatnya mampu meraih keinginan yang telah lama diimpikan. Adit bahkan belum mengangkat kakinya dari desa, namun pikiran maupun perasaan Ari didera seribu kekosongan. Mereka pernah melangkah bersama, bermimpi bersama, dan tumbuh bersama. Tapi nyatanya, nasib mereka berbeda. Bukan, bukan karena Adit berasal dari keluarga kaya dan Ari hanya dilahirkan dari keluarga biasa. Ini semua karena usaha dan tekad serta dukungan dari orangtua yang belum berhasil ia rengkuh. Selain kesempatan yang telah digariskan Tuhan.
Benar kata Adit kalau Tuhan tak akan pernah membatasi mimpi ia sebagai seorang hamba. Semua di dunia tak ada yang tak mungkin.
“Besok, kau berangkat jam berapa?” tanya Ari yang kini mulai merebahkan diri usai melemparkan cangkang kosong, meluruskan kakinya, lalu menatap ke warna yang membias di langit senja.
“Jam sepuluh. Kau berniat mengantarku, Ri?” Adit berceloteh sambil menyenggol pinggangnya.
“Tidak. Aku cuma ingin memastikan. Sepertinya kau juga sudah hapal betul jalan dari sini menuju bandara,” Ari berdalih.
“Semoga kau tidak menyesal, karena aku akan pulang tiga atau empat tahun lagi.”
Ari cuma tersenyum. Waktu yang sangat lama, dan entah Adit masih mengingatnya atau tidak. Karena saat itu datang, mungkin saja mereka berada dalam status yang jauh berbeda.
“Tenang saja! Tak usah selama itu, aku pasti akan segera menyusulmu ke sana.”
“Baiklah, akan kupegang kata-katamu. Nanti biarkan aku berkelana mencari universitas unggulan di Belanda maupun Eropa.”
Keduanya saling tertawa. Ari memang hanya menganggapnya sebagai gurauan, tapi tidak dengan Adit. Dia amat berharap kalau itu akan menjadi kenyataan. Menikmati waktu berdua di negara orang pasti akan membuat jalinan persahabatan mereka terasa istimewa. Sekaligus menciptakan sejarah baru sebagai anak pesisir.
Sesaat sunyi mengekang jiwa mereka. Rongga dada keduanya menegang didera rasa rindu meski masih berada di ruang yang sama. Dua linang air mengisi rongga mata, jatuh menimpa buliran pasir yang berubah jingga. Bayangan-bayangan itu membuat sudut-sudut mata keduanya jadi tiras. Duduk di atas dek kayu berbagi sekepal nasi asin, menyusup ke dalam lambung perahu, memanggang tubuh di atas birai batu, atau bergantian menuang air dari perigi, berburu rajungan, dan menghitung jumlah migrasi burung di musim penghujung. Seketika pikiran keduanya melepuh, bahkan ingat masa lalu membuat mereka semakin terbelenggu. Suara isak keduanya tenggelam dalam bunyi gulungan ombak yang samar menghantam keras bagian terdalam, yang entah di mana.
“Kau pasti kembali ‘kan Dit?” wajah Ari yang mengilat berubah merah dan mengeras. Ketakutannya melebihi ketakutan saat gulungan ombak membalikkan perahu mereka kala menyusup untuk ikut melaut.
Adit mengulum bibir —menahan tangis. “Aku pasti kembali, ke desa ini, ke tempat ini. Kau tak perlu cemas.”
Keduanya saling melepaskan pelukan. Rasa haru mendera sampai ke puncak kepala. Air mata mereka meleleh, turun membasahi puncak pundak masing-masing. Beberapa menit tenggelam dalam regukan perasaan yang menyesakkan, keduanya saling melepas pelukan. Adit mengeringkan wajah basah Ari dengan dua telapak tangannya.
Keduanya tersenyum.
Kini, garis cakrawala membentang di ujung samudera. Warna kemerahan senja mengusik waktu yang semakin menua. Mereka duduk tergelak di sana, memandang ke arah ufuk barat tempat sinar matahari senja semakin menyusut. Alunan sepoi angin pantai melunakkan hitam putih memori. Ari dan Adit tahu, di sana bukan untuk duduk semata, karena saat senja datang, hari esok akan tiba menjelang. Kenangan hari ini terlewat, malam naik ke peraduan menyulap suasana jadi memilukan. Tapi sungguh, setidaknya di tepian pantai mereka dapat melihat kebesaran Illahi dalam memutarbalikkan bumi. Keajaiban yang tak terperi. Dan mereka wajib mensyukuri.
“Ketika tiba saat perpisahan, janganlah kau berduka, sebab apa yang paling kau kasihi darinya akan nampak lebih nyata dari kejauhan. Seperti gunung yang nampak lebih agung terlihat dari padang dan daratan.”
Komentar
Posting Komentar